Jumat, 19 Juni 2015

OTONOMI DAERAH


OTONOMI DAERAH
Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1)F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2)Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3)Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Aspek Otonomi Daerah
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
1)Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2)Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3)Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri. Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1)Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
2)Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3)Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4)Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
C. Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang. Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
f) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
g) Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h) Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a)      Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
b)      Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian.
D. Hakikat Otonomi Daerah
Desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintah sering digunakan secara campur baur (interchangeably). Desentralisas sebagai mana didefinisikan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) adalah:
Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui secara dekonsentrasi, misalnya pendelegrasian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan daerah. Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai ”mandiri ”. Sedangkan dalam makna yang luas diartikan sebagai ” berdaya”. Otonomi daerah engan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Namun demikian, pelaksanan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintah dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:
1. Untuk terciptanya efesensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah.
2. Sebagai sarana pendidikan politik.
3. Pemerintah daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
4. Stabilitas politik.
5. Kesetaraan politik (political equlity).
6. Akuntabilitas publik.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintah malalui proses pemilihan secara langsung.

Visi Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintah mempunyai visi yang dapat dirumuskan dengan yang lainnya: politik, ekonomi, sosisl dan budaya. Visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya mengandung pengertian bahwa otonomi daerah harus diarahkan pada pengelola , penciptaan dan pemeliharaan integrasi dan harmoni sosial. Pada saat yang sama, visi otonomi daerah dibidang sosial dan budaya adalah memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang di pandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global.
Bentuk dan Tujuan Desentralisasi dalam Konteks Otonomi Daerah
Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu deconcentration, delegtion to semi-autonomous and parastatal agencies, develution to local governments, dan nongovernment institutions(privatization). Dekonsentrasi hanya berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya
Desentralsasi dalam Negara Kesatuan dan Negara Federal: Sebuh Perabandingan.
Dalam dimensi karakter dasar yang dimilki oleh struktur pemerintahan regional/lokal pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki soverienitas (kedaulatan), sedangkan dalam nagara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Dalam pembahasan sistem federal dikenal pembagian kekuasaan dan kewenangan secara vertikal antara negara bagian dan federal. Soveneritas dalam negara federal lazimnya didefinisikan sebagai kompetensi dan bukan sebagai kedaulatan awal negara bagian. Dalam perspektif teori negara federal dualitis (dualistiche bundesstaatstheorie), kepemilikan bersanma kedaulatan antara negara bagian dan federal bukanlah suatu kemustahilan.
E. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Undang-undang nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 29 (dua) jenis daerah, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom  istimewa, serta 3(tiga) tingkatan daerah otonom yaitu propnsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil.
Sistem Otonomi Daerah
Yang dimaksud dengan faham atau sistem otonomi disini ialah patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah tangga daerah dan tentang tata cara pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah menurut suatu prinsip atau pola pemikiran tertentu. (Sujamto; 1990). Banyak istilah yang digunakan oleh para ahli untuk menerjemahkan maksud tersebut diatas. Penulis paling tidak mengidentifikasi ada empat istilah yang digunakan oleh para ahli untuk memahaminya.
Istilah-istilah itu antara lain sistem, paham, ajaran, pengertian. Adapun mengenai faham atau atau sistem otonomi tersebut pada umumnya orang mengenal ada dua faham atau sistem pokok, yaitu faham atau system otonomi materiil dan faham atau system otonomi formal. Oleh Sujamto (1990) kedua istilah ini lazim juga disebut pengertian rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip) dan pengertian rumah tangga formil (formeele huishoudingsbegrip).
Koesoemahatmadja (1978) menyatakan ada tiga ajaran  rumah tangga yang  terkenal yaitu :
a. Ajaran Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsbegrip),
b. Ajaran Rumah Tangga Formil (formil huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Formil (formeele huishoudingsbegrip)
c. Ajaran Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsbegrip)
Pada ajaran rumah tangga meteril bahwa dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut diperinci dengan jelas dan diperiinci dengan tegas dalam Undang –Undang tentang pembentukan suatu daerah. Artinya rumah tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu persatu dalam Undang-Undang pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam perincian tidak termasuk dalam rumah tangga daerah, melainkan tetap berada ditangan pemerintah pusat. Jadi ada perbedaan sifat materi antara tugas pemerintah pusat dam pemerintah daerah.
Adapun mengenai ajaran rumah tangga formil disini tidak terdapat perbedaan sifat antara tugas-tugas yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh pemerintah daerah. Apa yang dapat dikerjakan oleh pemerintah pusat pada prinsipnya dapat dikerjakan pula oleh pemerintah daerah demikian pula sebaliknya. Bila ada pembagian tugas maka itu didasarkan atas pertimbangan rasional dan praktis. Artinya pembagian tugas itu tidaklah disebabkan karena materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan semata-mata karena keyakinan bahwa kepentingan daerah itu lebih baik dan berhasil jika diselenggarakan sendiri daripada diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Jadi pertimbangan efisiensilah yang menentukan pembagian tugas itu bukan disebabkan oleh perbedaan sifat dari urusan yang menjadi tanggung jawab masing-masing.
Perkembangan kebijakan otonomi daerah di Indonesia
a.      UU Nomor 1 Tahun 1945
Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah
Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
Peraturan perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnyapun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit.
Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administrative belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom. Dari uraian diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang dianut oleh Undang-undang ini.
b. Undang-Undang Pokok tantang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.
Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya a s/d c tyang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai system rumah tangga yang dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya, kita harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas rumah tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayat sebagi berikut :
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya.
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebut telah diserahkan kemudian dengan UU. Dari uraian di atas terlihat bahewa UU ini menganut system atau ajaran materiil. Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat.

Hanya saja system ini ternyata tidak dianut secara konsekwen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur didalamnyakemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah atau dalam teraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990).
Ketentuan ini terlihat jelas membawa ciri system rumah tangga formil bahwa. Jadi pada dasarnya UU ini menganut dua system rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja karena sifat-sifat system materiil lebih menonjol maka namyak yang beranggapan UU ini menganut system Materil. Perlu dicatat bahwa pada 27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja Bundar, dimana RI hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur), dan Kalimantan. Dengan demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini diberlakukan sampai tanggal 17 Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.
c.Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitu dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah sistem otonomi riil, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang system otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2, dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa lain.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Dengan peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah dengan urusan lain.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil jauh lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena itu tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi formil. Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut sistem yang dapat diberi nama sendiri yaitu sistem otonomi riil. (Sujamto;1990).

Penyempurnaan pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit Presiden 5 Juli 1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. Dalam peraturan ini daerah tetap dibagi dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala Daerah I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme kepemimpinan di daerah dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di Daerah dan Kepala Daerah diberi kedududukan sebagai Pegawai Negara.
d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960.
Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara keseluruhan masih berupa penyerahan oleh pusat daerah tetap menjadi aktor yang pasif.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda dengan dua UU terdahulu (UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965) yang menyatakan diri menganut sistem otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak berbicara apa-apa mengenai sistem otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bukan sebagai system atau faham atau pengertian akan tetapi sebagai suatu prinsip. (Sujamto; 1990). Sebagaimana diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi.
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan diatas maka terlihat sesungguhnya UU adalah menganut sistem atau ajaran rumah tangga material . dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang mengatakan tentang gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam Peraturan perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang merupakan ciri dari sistem rumah tangga formil.
f. UU Nomor 22 tahun 1999

Sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara gamblang tentang system atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Unutk dapat mengetahui system atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan kewenangan atau luasnya uruasan yang diberikan kepada daerah. Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1.      Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
2.      Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain itui kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
3.      Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-undangan.
4.      Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat system atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau danutnya adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah tangga formil. Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan menganut pula ajaran formil antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya. Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga formil.
F. Otonomi Daerah Dan Demokratisasi
Otonomi daerah sudah menggelinding berbarengan dengan reformasi. Ia merupakan terobosan untuk memperkuat Indonesia sebagai sebuah negara bangsa dengan mengakomodasi keragaman daerah. Akomodasi ini bukan untuk memperlemah, tapi sebaliknya, untuk memperkuat Indonesia. Dalam konteks itu otonomi daerah adalah sistem untuk membuat hubungan kongruen antara pusat dan daerah. Sejauhmana kongruensi ini telah terbangun?
Dilihat dari sikap dan perilaku politik warga, otonomi daerah yang sudah berjalan sampai hari ini belum mampu menjembatani kedaerahan dan keindonesiaan. Hubungan antara kedaerahan dan keindonesiaan masih negatif, dan yang punya sentimen kedaerahan dibanding keindonesiaan masih banyak. Selain itu, otonomi daerah belum mampu menyerap keragaman dalam keindonesiaan. Sumber utama dari belum mampunyai otonomi daerah menjembatani kedaerahan dan keindonesiaan, belum mampunya menciptakan sistem politik yang kongruen antara pusat dan daerah, adalah kinerja otonomi daerah itu sendiri yang dinilai publik belum banyak menciptakan keadaan lebih baik dibanding sistem pemerintahan yang terpusat sebelumnya. Akar dari belum berkinerja baiknya otonomi daerah terkait dengan evaluasi publik atas kinerja pemerintah daerah. Evaluasi positif publik atas kinerja otonomi daerah tergantung pada apakah kinerja pemerintah akan semakin baik, atau sebaliknya. Bila tidak, maka sikap negatif publik pada otonomi daerah akan menjadi semkin kuat, dan pada gilirannya akan semakin menjauhkan daerah dengan pusat, kedaerahan dan keindonesiaan.

Namun demikian, tidak terkaitnya secara berarti antara otonomi daerah dan keindonesiaan masih tertolong berkat demokrasi. Demokrasilah yang menggerus kedaerahan, bukan otonomi daerah. Untungnya, demokrasi pula yang berhubungan secara sistemik dengan otonomi daerah. Demokrasi menjadi titik temu antara otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu penguatan demokrasi menjadi prasarat bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara keindonesiaan dan kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI. Bila demokrasi melemah, terutama dilihat dari kinerjanya, maka otonomi daerah bukan memperkuat NKRI melainkan memperlemahnya.


DAFTAR PUSTAKA


  1. http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2062077-pengertian-otonomi-daerah/#ixzz1erLuWWTP
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
  3. http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2062077-pengertian-otonomi-daerah/#ixzz1erLuWWTP

WARGA NEGARA


WARGA NEGARA
Pengertian Warga Negara
Pengertian warga negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara itu. Sementara itu, AS Hikam dalam Ghazalli (2004) mendefinisikan warga negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara seperti yang tertulis dalam UUD 1945 pasal 26 dimaksudkan: “Warga negara adalah Bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara”.

Selanjutnya dalam pasal 1 UU Nomor 22/1958, dan dinyatakan juga dalam UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, menekankan kepada peraturan yang menyatakan bahwa Warga Negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan atau perjanjian-perjanjian dan atau peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia.

Warga negara memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat penting bagi kemajuan dan bahkan kemunduran sebuah bangsa. Oleh karena itu, seseorang yang menjadi anggota atau warga suatu negara haruslah ditentukan oleh Undang-undang yang dibuat oleh negara tersebut. Sebelum negara menentukan siapa saja yang menjadi warga negaranya, terlebih dahulu negara harus mengakui bahwa setiap orang berhak memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meningggalkannya serta berhak kembali sebagaimana dinyatakan oleh pasal 28E ayat (1) UUD 1945.

Pernyataan ini mengandung makna bahwa orang-orang yang tinggal dalam wilayah negara dapat diklasifikasikan menjadi:
1.      Warga Negara Indonesia, adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan dengan undang-undang sebagai warga negara.
2.      Penduduk, yaitu orang-orang asing yang tinggal dalam negara bersifat sementara sesuai dengan visa (surat izin untuk memasuki suatu negara dan tinggal sementara yang diberikan oleh pejabat suatu negara yang dituju) yang diberikan negara melalui kantor imigrasi.
Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Cina, peranakan Arab, dan lain-lain yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
Dari sudut hubungan antara negara dan warga negara, Koerniatmanto S. mendefinisikan warga negara dengan konsep anggota negara. Sebagai anggota negara, warga negara mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.

B.     Penentuan Warga Negara Indonesia
Siapa saja yang dapat menjadi warga negara dari suatu negara? Setiap negara berdaulat berwenang menentukan siapa-siapa yang menjadi warga negara. Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran, asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan dan Asas kewarganegaraan berdasarkan naturalisasi.
a)        Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Kelahiran
Penentuan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran seseorang dikenal dengan dua asas kewarganegaraan yaitu ius soli dan ius sanguinis. 
Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman. Soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau daerah, dan sanguinis berasal dari kata sanguis yang berarti darah. Dengan demikian ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah kelahiran, sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan atau keibubapakan.
Sebagai contoh, jika sebuah negara menganut ius soli, maka seorang yang dilahirkan di negara tersebut mendapatkan hak sebagai warga negara. Begitu pula dengan asas ius sanguinis, jika sebuah negara menganut ius sanguinis, maka seseorang yang lahir dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan suatu negara tertentu, Indonesia misalnya, maka anak tersebut berhak mendapatkan status kewarganegaraan orang tuanya, yakni warga negara Indonesia.
1.      Asas Ius Sanguinis
Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya kalau orang dilahirkan dari orang tua yang berwarganegara Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara Indonesia. Asas Ius sanguinis atau Hukum Darah (law of the blood) atau asas genealogis (keturunan) atau asas keibubapakan, adalah asas yang menetapkan seseorang mempunyai kewarganegaraan menurut kewarganegaraan orang tuanya, tanpa melihat di mana ia dilahirkan. Asas ini dianut oleh negara yang tidak dibatasi oleh lautan, seperti Eropa Kontinental dan China.

Asas ius sanguinis memiliki keuntungan, antara lain:
1)        Akan memperkecil jumlah orang keturunan asing sebagai warga negara;
2)        Tidak akan memutuskan hubungan antara negara dengan warga negara yang lahir;
3)        Semakin menumbuhkan semangat nasionalisme;
4)        Bagi negara daratan seperti China dan lain-lain, yang tidak menetap pada suatu negara tertentu  tetapi keturunan tetap sebagai warga negaranya meskipun lahir di tempat lain (negara tetangga).
2.      Asas Ius Soli
Pada awalnya, asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini hanya satu, yakni ius soli saja. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa karena seseorang lahir di suatu wilayah negara, maka otomatis dan logis ia menjadi warga negara tersebut. Asas ius soli atau asas tempat kelahiran atau hukum tempat kelahiran (law of the soil) atau asas teritorial adalah asas yang menetapkan seseorang mempunyai kewarganegaraan menurut tempat di mana ia dilahirkan. Asas ini dianut oleh negara-negara imigrasi seprti USA, Australia, dan Kanada.
Tidak semua daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan. Misalnya, kalau orang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia. Terkecuali anggota-anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing yang masih dalam ikatan dinas. Di samping dan bersama-sama dengan prinsip ius sanguinis, prinsip ius soli ini juga berlaku di Amerika, Inggris, Perancis, dan juga Indonesia. Tetapi di Jepang, prinsip ius solis ini tidak berlaku. Karena seseorang yang tidak dapat membuktikan bahwa orang tuanya berkebangsaan Jepang, ia tidak dapat diakui sebagai warga Negara Jepang.

Untuk sementara waktu asas ius soli menguntungkan, yaitu dengan lahirnya anak-anak dari para imigran di negara tersebut maka putuslah hubungan dengan negara asal. Akan tetapi dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan pada tempat kelahiran saja. Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain ini juga berdasarkan realitas empirik bahwa ada orang tua yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian orang tua tersebut melahirkan anak di tempat salah satu orang tuanya (misalnya di tempat ibunya).
Jika tetap menganut asas ius soli, maka si anak hanya akan mendapatkan status kewarganegaraan ibunya saja, sementara ia tidak berhak atas status kewarganegaraan bapaknya. Atas dasar itulah, maka asas ius sanguinis dimunculkan, sehingga si anak dapat memiliki status kewarga-negaraan bapaknya.

b)       Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Perkawinan
Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sistem perkawinan. Di dalam sistem perkawinan, terdapat dua buah asas, yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
1.      Asas Kesatuan Hukum
Asas kesatuan hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak berpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, suami-istri ataupun ikatan keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-istri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitment menjalankan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan keluarga. Menurut asas kesatuan hukum, sang istri akan mengikuti status suami baik pada waktu perkawinan dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawinan berjalan. Negara-negara yang masih mengikuti asas ini antara lain: Belanda, Belgia, Perancis, Yunani, Italia, Libanon, dan lainnya. Negara yang menganut asas ini menjamin kesejahteraan para mempelai. Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, melalui proses hemogenitas dan asimilasi bangsa. Proses ini akan dicapai apabila kewarganegaraan istri adalah sama dengan kewarganegaraan suami. Lebih-lebih istri memiliki tugas memelihara anak yang dilahirkan dari perkawinan, maka akan diragukan bahwa sang ibu akan dapat mendidik anak-anaknya menjadi warga negara yang baik apabila kewarganegaraannya berbeda dengan sang ayah anak-anak.
2.      Asas Persamaan Derajat
Dalam asas persamaan derajat, suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak (suami atau istri). Baik suami ataupun istri tetap berkewarganegaraan asal, atau dengan kata lain sekalipun sudah menjadi suami-istri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum diikatkan menjadi suami istri. Negara-negara yang menggunakan asas ini antara lain: Australia, Canada, Denmark, Inggris, Jerman, Israel, Swedia, Birma dan lainnya. Asas ini dapat menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Misalnya, seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan perempuan di negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang diinginkannya, maka selanjutnya ia menceraikan istrinya.


c)        Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Naturalisasi
Walaupun tidak dapat memenuhi status kewarganegaraan melalui sistem kelahiran maupun perkawinan, seseorang masih dapat mendapatkan status kewarganegaraan melalui proses pewarganegaraan atau naturalisasi. Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh sesuatu negara atau tidak mau diberi atau dijadikan warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut.
Perolehan Kewarganegaraan Indonesia untuk mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia, pemerintah mengatur dalam Undang-undang. Hal ini diatur sedemikian rupa, sehingga mampu mengantisipasi berbagai permasalahan baik sosial maupun permasalahan hukum yang terjadi. Karena permasalahan yang menyangkut status warga negara dapat terjadi pada wilayah dalam negeri maupun aktivitas yang berkaitan dengan interaksi antar negara. Sebagai contoh, kehadiran beberapa artis muda di Indonesia yang berasal dari negara lain, saat ini tengah berurusan dengan pihak imigrasi karena visa dan status kewarganegaraan mereka. Terkait dengan kejahatan, berbagai kasus penyebaran narkoba oleh warga negara kulit hitam di Indonesia melibatkan jaringan internasional. Dengan pengaturan status kewarganegaraan, pihak kepolisian memiliki bukti yang kuat untuk mencekal maupun menangkap dan mengembalikannya ke negara asalnya.
Dalam penjelasan umum Undang-undang No. 62/1958 bahwa terdapat 7 (tujuh) cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu :
1)      Karena kelahiran;
2)      Karena pengangkatan;
3)      Karena dikabulkannya permohonan;
4)      Karena pewarganegaraan;
5)      Karena perkawinan
6)      Karena turut ayah dan atau ibu;
7)      Karena pernyataan.
C.      Hak dan Kewajiban Warga Negara
Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri. Contohnya, hak mendapatkan pengajaran, hak mendapatkan nilai dari guru dan sebagainya.
Sebagai warga negara yang baik kita wajib membina dan melaksanakan hak dan kewajiban kita dengan tertib. Hak dan kewajiban warga negara diatur dalam UUD 1945 yang meliputi.
a)      Hak dan Kewajiban dalam Bidang Politik
Pasal 27 ayat (1) menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemeritahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini menyatakan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu:
·         Hak untuk diperlakukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
·         Kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan.
Pasal 28 menyatakan, bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Arti pesannya adalah:
- Hak berserikat dan berkumpul.
- Hak mengeluarkan pikiran (berpendapat).
- Kewajiban untuk memiliki kemampuan beroganisasi dan melaksanakan aturan-  
   aturan lainnya, di antaranya: Semua organisasi harus berdasarkan Pancasila sebagai
  azasnya, semua media pers dalam mengeluarkan pikiran (pembuatannya selain
  bebas harus pula bertanggung jawab dan sebagainya).
b)      Hak dan Kewajiban dalam Bidang Sosial Budaya
Pasal 31 ayat (1) menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”.

Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang”.

Pasal 32 menyatakan bahwa “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”.
Arti pesan yang terkandung adalah:
Ø  Hak memperoleh kesempatan pendidikan pada segala tingkat, baik umum maupun kejuruan.
Ø  Hak menikmati dan mengembangkan kebudayaan nasional dan daerah.
Ø  Kewajiban mematuhi peraturan-peraturan dalam bidang kependidikan.
Ø  Kewajiban memelihara alat-alat sekolah, kebersihan dan ketertibannya.
Ø  Kewajiban ikut menanggung biaya pendidikan.
Ø  Kewajiban memelihara kebudayaan nasional dan daerah.dinyatakan oleh pasal 31 dan 32, Hak dan Kewajiban warga negara tertuang pula pada pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Ø  Hak untuk mengembangkan dan menyempurnakan hidup moral keagamaannya, sehingga di samping kehidupan materiil juga kehidupan spiritualnya terpelihara dengan baik.
Ø  Kewajiban untuk percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
c)      Hak dan Kewajiban dalam Bidang Hankam
Pasal 30 menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”.
d)     Hak dan Kewajiban dalam Bidang Ekonomi
Pasal 33 ayat (1), menyatakan, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.
Pasal 33 ayat (2), menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Pasal 33 ayat (3), menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pasal 34 menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Arti pesannya adalah:
ü  Hak memperoleh jaminan kesejahteraan ekonomi, misalnya dengan tersedianya barang dan jasa keperluan hidup yang terjangkau oleh daya beli rakyat.
ü  Hak dipelihara oleh negara untuk fakir miskin dan anak-anak terlantar.
ü  Kewajiban bekerja keras dan terarah untuk menggali dan mengolah berbagai sumber daya alam.
ü  Kewajiban dalam mengembangkan kehidupan ekonomi yang berazaskan kekeluargaan, tidak merugikan kepentingan orang lain.
ü  Kewajiban membantu negara dalam pembangunan misalnya membayar pajak tepat waktu.
Itulah hak dan kewajiban bangsa Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945, dan Anda sebagai warga negara wajib melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.
Di samping itu, setiap penduduk yang menjadi warga negara Indonesia, diharapkan memiliki karakteristik yang bertanggung jawab dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Karakteristik adalah sejumlah sifat atau tabiat yang harus dimiliki oleh warga negara Indonesia, sehingga muncul suatu identitas yang mudah dikenali sebagai warga negara.
Sejumlah sifat dan karakter warga negara Indonesia adalah memiliki rasa hormat dan tanggung jawab, bersikap kritis, melakukan diskusi dan dialog, bersikap Terbuka, rasional, adil, dan jujur.



DAFTAR PUSTAKA


3.      www.google.com
4.      Purwanto Tri Bambang, Sunardi. 2006.Membangun Wawasan Kewarganegaraan 1. Solo: PT tiga Serangkai Pustaka Mandiri.