OTONOMI
DAERAH
Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos
yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan
demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :1)F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2)Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3)Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein
(1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian
wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat.
Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu
pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah
dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber
sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun
(1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan
untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya
daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian
otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat
sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut
adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan
demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan
urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih
bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan
dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan
kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap
menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan
untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan
daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang
telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan
bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Aspek Otonomi DaerahBeranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
1)Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.
2)Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3)Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
2)Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3)Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi
adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti
dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya.
Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan
nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk
berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri
serta mengelola keuangan sendiri. Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi
dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti
bahwa daerah harus mampu :
1)Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan
kebijaksanaan sendiri.2)Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3)Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4)Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
C. Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu
dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di
atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan
batas administrasi pemerintahan yang jelas.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur
daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah
baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota
yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan,
maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa
mendatang. Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999,
dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk
lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman
daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan
daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang
secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa
perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah
dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar pemikiran di atas¸ maka
prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 adalah sebagai berikut :
a) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang
terbatas.b) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
f) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
g) Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h) Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah
adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah
dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan
pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa
tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a)
Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang
mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
b)
Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di
daerah terutama dalam bidang perekonomian.
D. Hakikat Otonomi Daerah
Desentralisasi dalam kerangka sistem
penyelenggaraan pemerintah sering digunakan secara campur baur
(interchangeably). Desentralisas sebagai mana didefinisikan perserikatan
bangsa-bangsa (PBB) adalah:
Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui
secara dekonsentrasi, misalnya pendelegrasian, kepada pejabat di bawahnya
maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan daerah.
Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai
”mandiri ”. Sedangkan dalam makna yang luas diartikan sebagai ” berdaya”.
Otonomi daerah engan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Namun demikian, pelaksanan desentralisasi
haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik ataupun empirik.
Kalangan teoritis pemerintah dan politik mengajukan sejumlah argumen yang
menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik
secara empirik atau pun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam
memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:
1. Untuk terciptanya efesensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah.2. Sebagai sarana pendidikan politik.
3. Pemerintah daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
4. Stabilitas politik.
5. Kesetaraan politik (political equlity).
6. Akuntabilitas publik.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah akan
dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
karena masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintah
malalui proses pemilihan secara langsung.
Visi Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan
pemerintah mempunyai visi yang dapat dirumuskan dengan yang lainnya: politik,
ekonomi, sosisl dan budaya. Visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya
mengandung pengertian bahwa otonomi daerah harus diarahkan pada pengelola ,
penciptaan dan pemeliharaan integrasi dan harmoni sosial. Pada saat yang sama,
visi otonomi daerah dibidang sosial dan budaya adalah memelihara dan
mengembangkan nilai, tradisi, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang
di pandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika
kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global.
Bentuk dan Tujuan Desentralisasi
dalam Konteks Otonomi Daerah
Rondinelli membedakan empat bentuk
desentralisasi, yaitu deconcentration, delegtion to semi-autonomous and
parastatal agencies, develution to local governments, dan nongovernment
institutions(privatization). Dekonsentrasi hanya berupa pergeseran volume pekerjaan
dari departemen pusat kepada perwakilannya
Desentralsasi dalam Negara Kesatuan dan Negara
Federal: Sebuh Perabandingan.
Dalam dimensi karakter dasar yang dimilki oleh struktur pemerintahan regional/lokal pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki soverienitas (kedaulatan), sedangkan dalam nagara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Dalam pembahasan sistem federal dikenal pembagian kekuasaan dan kewenangan secara vertikal antara negara bagian dan federal. Soveneritas dalam negara federal lazimnya didefinisikan sebagai kompetensi dan bukan sebagai kedaulatan awal negara bagian. Dalam perspektif teori negara federal dualitis (dualistiche bundesstaatstheorie), kepemilikan bersanma kedaulatan antara negara bagian dan federal bukanlah suatu kemustahilan.
E. Sejarah Otonomi Daerah di
IndonesiaDalam dimensi karakter dasar yang dimilki oleh struktur pemerintahan regional/lokal pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki soverienitas (kedaulatan), sedangkan dalam nagara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Dalam pembahasan sistem federal dikenal pembagian kekuasaan dan kewenangan secara vertikal antara negara bagian dan federal. Soveneritas dalam negara federal lazimnya didefinisikan sebagai kompetensi dan bukan sebagai kedaulatan awal negara bagian. Dalam perspektif teori negara federal dualitis (dualistiche bundesstaatstheorie), kepemilikan bersanma kedaulatan antara negara bagian dan federal bukanlah suatu kemustahilan.
Undang-undang nomor 22 tahun 1948 berfokus pada
pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam
undang-undang ini ditetapkan 29 (dua) jenis daerah, yaitu daerah otonom biasa
dan daerah otonom istimewa, serta
3(tiga) tingkatan daerah otonom yaitu propnsi, kabupaten/kota besar dan
desa/kota kecil.
Sistem Otonomi Daerah
Yang dimaksud dengan faham atau sistem otonomi
disini ialah patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah tangga
daerah dan tentang tata cara pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
daerah menurut suatu prinsip atau pola pemikiran tertentu. (Sujamto; 1990).
Banyak istilah yang digunakan oleh para ahli untuk menerjemahkan maksud
tersebut diatas. Penulis paling tidak mengidentifikasi ada empat istilah yang
digunakan oleh para ahli untuk memahaminya.
Istilah-istilah itu antara lain sistem, paham,
ajaran, pengertian. Adapun mengenai faham atau atau sistem otonomi tersebut
pada umumnya orang mengenal ada dua faham atau sistem pokok, yaitu faham atau
system otonomi materiil dan faham atau system otonomi formal. Oleh Sujamto
(1990) kedua istilah ini lazim juga disebut pengertian rumah tangga materiil
(materiele huishoudingsbegrip) dan pengertian rumah tangga formil (formeele
huishoudingsbegrip).
Koesoemahatmadja (1978) menyatakan ada tiga ajaran rumah tangga yang terkenal yaitu :a. Ajaran Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsbegrip),
b. Ajaran Rumah Tangga Formil (formil huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Formil (formeele huishoudingsbegrip)
c. Ajaran Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsbegrip)
Pada ajaran rumah tangga meteril bahwa dalam
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas yang
jelas, dimana tugas-tugas tersebut diperinci dengan jelas dan diperiinci dengan
tegas dalam Undang –Undang tentang pembentukan suatu daerah. Artinya rumah
tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu persatu
dalam Undang-Undang pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam perincian
tidak termasuk dalam rumah tangga daerah, melainkan tetap berada ditangan
pemerintah pusat. Jadi ada perbedaan sifat materi antara tugas pemerintah pusat
dam pemerintah daerah.
Adapun mengenai ajaran rumah tangga formil disini
tidak terdapat perbedaan sifat antara tugas-tugas yang diselenggarakan oleh
pemerintah pusat dan oleh pemerintah daerah. Apa yang dapat dikerjakan oleh
pemerintah pusat pada prinsipnya dapat dikerjakan pula oleh pemerintah daerah
demikian pula sebaliknya. Bila ada pembagian tugas maka itu didasarkan atas
pertimbangan rasional dan praktis. Artinya pembagian tugas itu tidaklah
disebabkan karena materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan semata-mata
karena keyakinan bahwa kepentingan daerah itu lebih baik dan berhasil jika
diselenggarakan sendiri daripada diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Jadi pertimbangan
efisiensilah yang menentukan pembagian tugas itu bukan disebabkan oleh
perbedaan sifat dari urusan yang menjadi tanggung jawab masing-masing.
Perkembangan kebijakan otonomi daerah
di Indonesia
a. UU Nomor 1 Tahun 1945
Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah
Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
Peraturan perundangan yang pertama yang mengatur
otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945.
Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya
mengatur hal-hal yang bersita darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnyapun
hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan sama sekali tidak memiliki
penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang
penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit.
Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis
daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten dan kota berotonomi. Pada
pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam delapan propinsi berdasarkan
penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus
1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administrative belaka,
tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi
berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan
Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei
1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir
menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom. Dari uraian diatas maka
tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang dianut oleh
Undang-undang ini.
b. Undang-Undang Pokok tantang
Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.
Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya a s/d c tyang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai
system rumah tangga yang dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui system
mana yang dianutnya, kita harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya.
Terutama yang mengatur batas-batas rumah tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayat sebagi berikut :
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya
daerahnya.Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayat sebagi berikut :
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa luas
daripada urusan rumah tangga atau kewenangan daerah dibatasi dalam
undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengatur
atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam daftar urusan yang
tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebut telah
diserahkan kemudian dengan UU. Dari uraian di atas terlihat bahewa UU ini
menganut system atau ajaran materiil. Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001)
bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi material., yakni dengan mengatur
bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang diserahkan kepada
daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar
itu merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Hanya saja system ini ternyata tidak dianut secara konsekwen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur didalamnyakemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah atau dalam teraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990).
Ketentuan ini terlihat jelas membawa ciri system
rumah tangga formil bahwa. Jadi pada dasarnya UU ini menganut dua system rumah
tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja karena sifat-sifat system materiil
lebih menonjol maka namyak yang beranggapan UU ini menganut system Materil.
Perlu dicatat bahwa pada 27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja
Bundar, dimana RI hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat
yang wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur),
dan Kalimantan. Dengan demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini
diberlakukan sampai tanggal 17 Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.
c.Undang-Undang Nomor 1 tahun1957Dalam perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitu dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah sistem otonomi riil, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang system otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2, dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga
daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa
lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Dengan
peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan
kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat
daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III
setelah minta pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat
diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah dengan urusan lain.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil jauh lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena itu tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi formil. Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut sistem yang dapat diberi nama sendiri yaitu sistem otonomi riil. (Sujamto;1990).
Penyempurnaan
pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6
tahun1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem
Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit
Presiden 5 Juli 1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. Dalam peraturan ini
daerah tetap dibagi dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala
Daerah I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme
kepemimpinan di daerah dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di
Daerah dan Kepala Daerah diberi kedududukan sebagai Pegawai Negara.
d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965UU ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960.
Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara keseluruhan masih berupa penyerahan oleh pusat daerah tetap menjadi aktor yang pasif.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda dengan dua UU terdahulu (UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965) yang menyatakan diri menganut sistem otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak berbicara apa-apa mengenai sistem otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bukan sebagai system atau faham atau pengertian akan tetapi sebagai suatu prinsip. (Sujamto; 1990). Sebagaimana diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan
asas dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai
suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi.
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan
rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan diatas maka terlihat
sesungguhnya UU adalah menganut sistem atau ajaran rumah tangga material .
dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang mengatakan tentang gugurnya suatu
Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam Peraturan
perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang merupakan
ciri dari sistem rumah tangga formil.
f. UU Nomor 22 tahun 1999
Sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara gamblang tentang system atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Unutk dapat mengetahui system atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan kewenangan atau luasnya uruasan yang diberikan kepada daerah. Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1.
Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta
kewenangan bidang lain.
2.
Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai
daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat
lintas kabupaten dan kota serta kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan
oleh kabupaten dan kota. Selain itui kewenangan propinsi sebagai daerah
administrative mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan
kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
3.
Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola
sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara
kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-undangan.
4.
Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah
kabupaten dan kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan
yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat system atau ajaran
rumah tangga yang digunakan atau danutnya adalah perpaduan antara ajaran rumah
tangga material dan ajaran rumah tangga formil. Dikatakan menganut ajaran
materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan secara jelas
apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri daripada
system atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan menganut pula
ajaran formil antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81
didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk
mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya. Selain itu dkatakan
bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yang
meruapakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga formil.
F. Otonomi Daerah Dan Demokratisasi
Otonomi daerah sudah menggelinding berbarengan
dengan reformasi. Ia merupakan terobosan untuk memperkuat Indonesia sebagai
sebuah negara bangsa dengan mengakomodasi keragaman daerah. Akomodasi ini bukan
untuk memperlemah, tapi sebaliknya, untuk memperkuat Indonesia. Dalam konteks
itu otonomi daerah adalah sistem untuk membuat hubungan kongruen antara pusat
dan daerah. Sejauhmana kongruensi ini telah terbangun?
Dilihat dari sikap dan perilaku politik warga,
otonomi daerah yang sudah berjalan sampai hari ini belum mampu menjembatani
kedaerahan dan keindonesiaan. Hubungan antara kedaerahan dan keindonesiaan
masih negatif, dan yang punya sentimen kedaerahan dibanding keindonesiaan masih
banyak. Selain itu, otonomi daerah belum mampu menyerap keragaman dalam
keindonesiaan. Sumber utama dari belum mampunyai otonomi daerah menjembatani
kedaerahan dan keindonesiaan, belum mampunya menciptakan sistem politik yang
kongruen antara pusat dan daerah, adalah kinerja otonomi daerah itu sendiri
yang dinilai publik belum banyak menciptakan keadaan lebih baik dibanding
sistem pemerintahan yang terpusat sebelumnya. Akar dari belum berkinerja
baiknya otonomi daerah terkait dengan evaluasi publik atas kinerja pemerintah
daerah. Evaluasi positif publik atas kinerja otonomi daerah tergantung pada
apakah kinerja pemerintah akan semakin baik, atau sebaliknya. Bila tidak, maka
sikap negatif publik pada otonomi daerah akan menjadi semkin kuat, dan pada
gilirannya akan semakin menjauhkan daerah dengan pusat, kedaerahan dan
keindonesiaan.
Namun demikian, tidak terkaitnya secara berarti antara otonomi daerah dan keindonesiaan masih tertolong berkat demokrasi. Demokrasilah yang menggerus kedaerahan, bukan otonomi daerah. Untungnya, demokrasi pula yang berhubungan secara sistemik dengan otonomi daerah. Demokrasi menjadi titik temu antara otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu penguatan demokrasi menjadi prasarat bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara keindonesiaan dan kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI. Bila demokrasi melemah, terutama dilihat dari kinerjanya, maka otonomi daerah bukan memperkuat NKRI melainkan memperlemahnya.
DAFTAR PUSTAKA
- http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2062077-pengertian-otonomi-daerah/#ixzz1erLuWWTP
- http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
- http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2062077-pengertian-otonomi-daerah/#ixzz1erLuWWTP