HUJAN ASAM
Hujan asam diartikan sebagai segala macam hujan dengan pH di bawah 5,6. Hujan secara alami bersifat
asam (pH sedikit di bawah 6) karena karbondioksida (CO2)
di udara yang larut dengan air
hujan memiliki bentuk sebagai asam
lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan
binatang.
Hujan asam disebabkan oleh belerang (sulfur) yang
merupakan pengotor dalam bahan bakar fosil serta nitrogen di udara yang
bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Zat-zat
ini berdifusi ke atmosfer
dan bereaksi dengan air untuk membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang mudah larut
sehingga jatuh bersama air hujan. Air hujan yang asam tersebut akan
meningkatkan kadar keasaman tanah dan air permukaan yang terbukti berbahaya
bagi kehidupan ikan dan tanaman. Usaha untuk mengatasi hal ini saat ini sedang
gencar dilaksanakan.
SUMBER
Secara
alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan dari gunung berapi dan dari
proses biologis di tanah, rawa, dan laut. Akan tetapi, mayoritas hujan asam
disebabkan oleh aktivitas manusia seperti industri, pembangkit tenaga listrik, kendaraan
bermotor dan pabrik pengolahan pertanian (terutama amonia). Gas-gas yang dihasilkan oleh
proses ini dapat terbawa angin
hingga ratusan kilometer di atmosfer sebelum berubah menjadi asam dan
terdeposit ke tanah.
Hujan
asam karena proses industri telah menjadi masalah yang penting di Republik
Rakyat Tiongkok, Eropa
Barat, Rusia dan daerah-daerah di
arahan anginnya. Hujan asam dari pembangkit tenaga listrik di Amerika Serikat bagian
Barat telah merusak hutan-hutan di New York dan New England. Pembangkit
tenaga listrik ini umumnya menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya.
PEMBENTUKAN HUJAN ASAM
Secara sederhana, reaksi pembentukan hujan asam sebagai berikut:
Bukti terjadinya peningkatan
hujan asam diperoleh dari analisis es kutub. Terlihat turunnya kadar pH sejak
dimulainya Revolusi
Industri dari 6 menjadi 4,5 atau 4. Informasi lain diperoleh dari
organisme yang dikenal sebagai diatom yang menghuni kolam-kolam. Setelah
bertahun-tahun, organisme-organisme yang mati akan mengendap dalam
lapisan-lapisan sedimen di dasar kolam. Pertumbuhan diatom akan meningkat pada
pH tertentu, sehingga jumlah diatom yang ditemukan di dasar kolam akan
memperlihatkan perubahan pH secara tahunan bila kita melihat ke masing-masing
lapisan tersebut.
Sejak dimulainya Revolusi
Industri, jumlah emisi sulfur dioksida dan nitrogen oksida ke atmosfer turut
meningkat. Industri yang menggunakan bahan bakar fosil, terutama batu bara, merupakan sumber
utama meningkatnya oksida belerang ini. Pembacaan pH di area industri
kadang-kadang tercatat hingga 2,4 (tingkat keasaman cuka). Sumber-sumber ini, ditambah oleh
transportasi, merupakan penyumbang-penyumbang utama hujan asam.
Masalah hujan asam tidak
hanya meningkat sejalan dengan pertumbuhan populasi dan industri
tetapi telah berkembang menjadi lebih luas. Penggunaan cerobong asap yang tinggi untuk mengurangi polusi lokal berkontribusi dalam
penyebaran hujan asam, karena emisi gas yang dikeluarkannya akan masuk ke
sirkulasi udara regional yang memiliki jangkauan lebih luas. Sering sekali,
hujan asam terjadi di daerah yang jauh dari lokasi sumbernya, di mana daerah pegunungan cenderung memperoleh lebih
banyak karena tingginya curah hujan di sini.
Terdapat hubungan yang erat
antara rendahnya pH dengan berkurangnya populasi ikan di danau-danau. pH di bawah 4,5 tidak
memungkinkan bagi ikan untuk hidup, sementara pH 6 atau lebih tinggi akan
membantu pertumbuhan populasi ikan. Asam di dalam air akan menghambat produksi
enzim dari larva ikan trout
untuk keluar dari telurnya. Asam juga mengikat logam beracun seperi alumunium di danau.
Alumunium akan menyebabkan beberapa ikan mengeluarkan lendir berlebihan di
sekitar insangnya sehingga ikan
sulit bernapas. Pertumbuhan Phytoplankton yang menjadi sumber makanan ikan
juga dihambat oleh tingginya kadar pH.
Tanaman dipengaruhi oleh
hujan asam dalam berbagai macam cara. Lapisan lilin pada daun rusak sehingga nutrisi menghilang
sehingga tanaman tidak tahan terhadap keadaan dingin, jamur dan serangga.
Pertumbuhan akar menjadi lambat sehingga lebih sedikit nutrisi yang bisa
diambil, dan mineral-mineral penting menjadi hilang.
Ion-ion beracun yang terlepas
akibat hujan asam menjadi ancaman yang besar bagi manusia. Tembaga di air
berdampak pada timbulnya wabah diare pada anak dan air tercemar alumunium dapat
menyebabkan penyakit Alzheimer.
SEJARAH
Hujan asam dilaporkan pertama
kali di Manchester, Inggris, yang menjadi kota
penting dalam Revolusi
Industri. Pada tahun 1852,
Robert Angus Smith menemukan hubungan antara hujan asam dengan polusi udara.
Istilah hujan asam tersebut mulai digunakannya pada tahun 1872. Ia mengamati
bahwa hujan asam dapat mengarah pada kehancuran alam.
Walaupun hujan asam ditemukan
pada tahun 1852, baru pada tahun 1970-an para ilmuwan mulai mengadakan banyak
melakukan penelitian mengenai fenomena ini. Kesadaran masyarakat akan hujan
asam di Amerika Serikat meningkat pada tahun 1990-an setelah di New York Times memuat
laporan dari Hubbard Brook Experimental Forest di New Hampshire tentang
banyaknya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh hujan asam.
Di Indonesia, dalam periode tahun 2005 sampai
2006, hujan asam telah terjadi di daerah padat transportasi Martadinata,
Cipedes, Kebon Kalapa dan Kopo di Bandung. Daerah transportasi seperti
Martadinata di timur Bandung terkena hujan asam dengan pH dalam kisaran 5-5,2
yaitu paling parah di kota Bandung. Daerah kota yang bebas dari hujan asam
adalah Dago dan Cikadut dengan pH 5,8-6,0. Hal ini tentunya berhubungan dengan
pengaruh lokal aktivitas manusia. Berbeda dengan hujan asam di Ciater dan
Lembang yang sangat kuat dipengaruhi oleh gunung Tangkuban Perahu, dengan pH
5,4-5,6. Wilayah tepi cekungan Bandung atau Kabupaten Bandung seperti
Padalarang, Cililin, Soreang dan Ciparay belum terkena hujan asam dengan pH
6,0-6,4. Hal ini dikarenakan sumber-sumber transportasi masih relatif lebih
sedikit dibandingkan Bandung juga tidak terdapat penyebaran polutan dari
Bandung. Kecuali Tanjungsari perlu diwaspadai karena terkena hujan asam dengan
pH 5,2-5,4 (Budiwati, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian bersama Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sumatera Utara dengan
peneliti dari Universitas Sumatra Utara tahun 2008, menyatakan bahwa telah
terjadi hujan asam di Medan. Kadar keasaman hujan yang turun di Medan sudah di
bawah standar keasaman. Hasil penelitian menunjukkan, pH air hujan di Medan 5,3
sampai 5,75. Penelitian ini dilakukan di Kawasan Industri Medan. Kawasan
Industri Medan (KIM) berdiri diatas lahan seluas 514 hektar. Di tempat ini
terdapat sekitar 340 industri, baik dalam negeri, maupun luar negeri. Hujan
asam ini terjadi lantaran pengaruh dari pembakaran tak sempurna dari emisi
cerobong pabrik dan emisi kendaraan yang menyebabkan pH hujan turun (Bapedalda
Sumut,2008).
Berikut beberapa dampak dari hujan asam terhadap lingkungan dan makhluk hidup:
1. Hujan asam dengan kadar keasaman tinggi dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada manusia. Kabut yang mengandung asam sulfat bersama-sama dengan udara terhisap dan masuk ke dalam saluran pernapasan manusia dapat merusak paru-paru bahkan dapat menyebabkan luka bakar pada kulit.
2. Menyebabkan korosi dan merusak bangunan. Hujan asam dapat mempercepat proses korosi. Proses korosi (perkaratan) dapat terjadi pada beberapa material dari logam. Korosi adalah peristiwa perusakan logam akibat terjadinya reaksi kimia antara logam dengan lingkungan yang menghasilkan produk yang tidak diinginkan. Lingkungan tersebut dapat berupa asam, basa, oksigen dalam udara, oksigen dalam air, atau zat kimia lainnya. Produk yang tidak diinginkan ini adalah karat. Ciri-ciri karat adalah berupa bercak coklat tua (lihat gambar dibawah)
Keberadaan karat ini sangat merugikan dan pada kondisi tertentu dapat
mengancam keselamatan jiwa. Logam yang mengalami korosi ini biasanya
akan menjadi rapuh dan keropos. Dan hal ini tentu sangat berbahaya jika
yang mengalami korosi adalah jembatan dari besi. Jembatan lama kelamaan
akan rapuh dan keropos. Untuk mencegah timbulnya korosi ini kita dapat
melakukan beberapa cara salah satunya yaitu dengan pengecatan.
Selain korosi pada logam hujan asam juga dapat merusak bangunan terutama bangunan yang terbuat dari batuan (lihat gambar 14b) . Hal ini disebabkan karena hujan asam akan melarutkan kalsium karbonat dalam batuan tersebut dan membuatnya batuan menjadi mudah lapuk.
3. Tumbuhan menjadi layu, kering dan mati. Hujan asam yang larut bersama nutrisi di dalam tanah akan menyapu kandungan nutrisi dalam tanah sebelum tumbuhan sempat mempergunakannya untuk tumbuh. Zat kimia beracun seperti aluminium juga akan terlepas dan bercampur dengan nutrisi. Apabila nutrisi ini diserap oleh tumbuhan akan menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun berguguran, kemudian tumbuhan akan terserang penyakit, kekeringan, dan mati.
Selain korosi pada logam hujan asam juga dapat merusak bangunan terutama bangunan yang terbuat dari batuan (lihat gambar 14b) . Hal ini disebabkan karena hujan asam akan melarutkan kalsium karbonat dalam batuan tersebut dan membuatnya batuan menjadi mudah lapuk.
3. Tumbuhan menjadi layu, kering dan mati. Hujan asam yang larut bersama nutrisi di dalam tanah akan menyapu kandungan nutrisi dalam tanah sebelum tumbuhan sempat mempergunakannya untuk tumbuh. Zat kimia beracun seperti aluminium juga akan terlepas dan bercampur dengan nutrisi. Apabila nutrisi ini diserap oleh tumbuhan akan menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun berguguran, kemudian tumbuhan akan terserang penyakit, kekeringan, dan mati.
4. Merusak ekosistem perairan. Hujan asam yang jatuh pada danau akan meningkatkan keasaman danau. Keasaman danau yang meningkat menyebabkan beberapa spesies biota air mati karena tidak mampu bertahan di lingkungan asam. Meskipun ada beberapa spesies yang dapat bertahan hidup tetapi karena rantai makanan terganggu maka spesies tersebut dapat mengalami kematian pula.
Cara mencegah hujan asam
Hujan asam sebagai salah satu permasalahan yang serius terhadap lingkungan perlu diatasi secara terpadu. Beberapa cara sudah dilakukan di negara-negara maju dengan membuat inovasi maupun formula peralatan industri yang mampu menetralisir polutan sebelum sampai ke udara dan bereaksi dengan oksigen di udara. Penggunaan Flue gas desulfurization (FGD) mampu menetralisir belerang sebelum sampai ke udara merupakan salah satu cara yang cukup populer dilakukan saat ini, di negera-negara maju seperti Amerika Serikat dan Negara maju lainnya.
Upaya Pengendalian Deposisi Asam
Untuk mengendalikan deposisi asam ialah menggunakan bahan bakar yang mengandung sedikit zat pencemae, menghindari terbentuknya zat pencemar saar terjadinya pembakaran, menangkap zat pencemar dari gas buangan dan penghematan energi.
a. Bahan Bakar Dengan kandungan Belerang Rendah
Kandungan belerang dalam bahan bakar bervariasi. Masalahnya ialah sampai saat ini Indonesia sangat tergantung dengan minyak bumi dan batubara, sedangkan minyak bumi merupakan sumber bahan bakar dengan kandungan belerang yang tinggi.
Penggunaan gas alam akan mengurangi emisi zat pembentuk asam, akan tetapi kebocoran gas ini dapat menambah emisi metan. Usaha lain yaitu dengan menggunakan bahan bakar non-belerang misalnya metanol, etanol dan hidrogen. Akan tetapi penggantian jenis bahan bakar ini haruslah dilakukan dengan hati-hati, jika tidak akan menimbulkan masalah yang lain. Misalnya pembakaran metanol menghasilkan dua sampai lima kali formaldehide daripada pembakaran bensin. Zat ini mempunyai sifat karsinogenik (pemicu kanker).
b. Mengurangi kandungan Belerang sebelum Pembakaran
Kadar belarang dalam bahan bakar dapat dikurangi dengan menggunakan teknologi tertentu. Dalam proses produksi, misalnya batubara, batubara diasanya dicuci untukk membersihkan batubara dari pasir, tanah dan kotoran lain, serta mengurangi kadar belerang yang berupa pirit (belerang dalam bentuk besi sulfida( sampai 50-90% (Soemarwoto, 1992).
c. pengendalian Pencemaran Selama Pembakaran
Beberapa teknologi untuk mengurangi emisi SO2 dan Nox pada waktu pembakaran telah dikembangkan. Slah satu teknologi ialah lime injection in multiple burners (LIMB). Dengan teknologi ini, emisi SO2 dapat dikurangi sampai 80% dan NOx 50%.
Caranya dengan menginjeksikan kapur dalam dapur pembakaran dan suhu pembakaran diturunkan dengan alat pembakar khusus. Kapur akan bereaksi dengan belerang dan membentuk gipsum (kalsium sulfat dihidrat). Penurunan suhu mengakibatkan penurunan pembentukan Nox baik dari nitrogen yang ada dalam bahan bakar maupun dari nitrogen udara.
Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke dalam alat ini kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas buang selanjutnya "didinginkan" dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air (H2O) membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistem FGD sudah terbebas dari oksida sulfur. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam.
d. Pengendalian Setelah Pembakaran
Zat pencemar juga dapat dikurangi dengan gas ilmiah hasil pembakaran. Teknologi yang sudah banyak dipakai ialah fle gas desulfurization (FGD) (Akhadi, 2000. Prinsip teknologi ini ialah untuk mengikat SO2 di dalam gas limbah di cerobong asap dengan absorben, yang disebut scubbing (Sudrajad, 2006). Dengan cara ini 70-95% SO2 yang terbentuk dapat diikat. Kerugian dari cara ini ialah terbentuknya limbah. Akan tetapi limbah itu dapat pula diubah menjadi gipsum yang dapat digunakan dalam berbagai industri. Cara lain ialah dengan menggunakan amonia sebagai zat pengikatnya sehingga limbah yang dihasilkan dapat dipergunakan sebagi pupuk.
Selain dapat mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam, gipsum yang dihasilkan melalui proses FGD ternyata juga memiliki nilai ekonomi karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misal untuk bahan bangunan. Sebagai bahan bangunan, gipsum tampil dalam bentuk papan gipsum (gypsum boards) yang umumnya dipakai sebagai plafon atau langit-langit rumah (ceiling boards), dinding penyekat atau pemisah ruangan (partition boards) dan pelapis dinding (wall boards).
Amerika Serikat merupakan negara perintis dalam memproduksi gipsum sintetis ini. Pabrik wallboard dari gipsum sintetis yang pertama di AS didirikan oleh Standard Gypsum LLC mulai November tahun 1997 lalu. Lokasi pabriknya berdekatan dengan stasiun pembangkit listrik Tennessee Valley Authority (TVA) di Cumberland yang berkapasitas 2600 mega watt.
Produksi gipsum sintetis merupakan suatu terobosan yang mampu mengubah bahan buangan yang mencemari lingkungan menjadi suatu produk baru yang bernilai ekonomi. Sebagai bahan wallboard, gipsum sintetis yang diproduksi secara benar ternyata memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan gipsum yang diperoleh dari penambangan. Gipsum hasil proses FGD ini memiliki ukuran butiran yang seragam. Mengingat dampak positifnya cukup besar, tidak mustahil suatu saat nanti, setiap PLTU batu bara akan dilengkapi dengan pabrik gipsum sintetis.
d. Mengaplikasikan prinsip 3R (Reuse, Recycle, Reduce)
Hendaknya prinsip ini dijadikan landasan saat memproduksi suatu barang, dimana produk itu harus dapat digunakan kembali atau dapat didaur ulang sehingga jumlah sampah atau limbah yang dihasilkan dapat dikurangi. Teknologi yang digunakan juga harus diperhatikan, teknologi yang berpotensi mengeluarkan emisi hendaknya diganti dengan teknologi yang lebih baik dan bersifat ramah lingkungan. Hal ini juga berkaitan dengan perubahan gaya hidup, kita sering kali berlomba membeli kendaraan pribadi, padahal transportasilah yang merupakan penyebab tertinggi pencemaran udara. Oleh karena itu kita harus memenuhi kadar baku mutu emisi, baik di industri maupun transportasi.
SUMBER :
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Hujan_asam
2. e-book learnmine
3. Bapedalda
Sumut. 2008. Hujan Asam Ancaman Serius Bagi Kelangsungan
Hidup Manusia Di Kota Medan. (online). Available : http://www.pemkomedan.go.id/
info detail.php?id=131 (cited 23 November
2009)
4. Budiwati Tuti, Wiwiek Setyawati, Asri Indrawati. 2008. Hujan Asam Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Di Cekungan Bandung. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer Dan Iklim-Lapan
4. Budiwati Tuti, Wiwiek Setyawati, Asri Indrawati. 2008. Hujan Asam Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Di Cekungan Bandung. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer Dan Iklim-Lapan